KONSEP KETUHANAN, MANUSIA & AGAMA
1.Konsep Ketuhanan
Tuhan
adalah eksistensi tertinggi yang dapat menjadi tempat bertumpu
dan berlindung hamba (makhluk).
Melambangkan
Tuhan
Guna untuk
memudahkan seseorang dalam mengadakan hubungan dengan Tuhan itu, masing-masing
agama memiliki cara tersendiri. Adapun perbedaan sebagai berikut:
Dinamisme
Benda yang
memiliki kekuatan gaib
􀂃 Baik atau Buruk
􀂃 Sesajen dan doa
Animisme
Roh baik pada
benda mati atau hidup
􀂃 Roh itu dirupakan, spt. berkaki,
bertangan, dll.
􀂃 Roh yang dihormati dan ditakuti
􀂃 Sesajen dan doa
Politeisme
Dewa-dewa
􀂃 Sesajen dan doa
Henoteisme
Tuhan
Bangsa/Nasional
􀂃 Setiap bangsa memiliki Tuhan
􀂃 Tanpa wujud
Monoteisme
Satu Tuhan
1.1 Konsep Tuhan dalam Islam
Dalam
Islam konsep Tuhan dikenal dengan konsep Tauhid (menunggalkan), yang tidak
mengalami perubahan sejak zaman Nabi Adam sehingga Nabi Muhammad Saw.
(1) Tauhid
Formalis (Tauhidul Ism), yaitu meyakini bahwa Allah Swt adalah Esa
secara otomatis dengan namanya tersebut, maka penyebutan dengan nama selain
Allah Swt tidak diperbolehkan.
(2) Tauhid
Konseptual (Tauhidul Ma’na), yaitu konsep tauhid yang mementingkan sisi konseptual
bahwa ketuhanan dalam Islam adalah Esa (Surat Al Isra 17: 110, Al Ikhlas 112:
1).
Berdasarkan
Konsep Tauhid maka Allah Swt adalah :
(1) Pencipta
alam semesta dan seisinya, berarti disinilah ketergantungan manusia sebagai
makhluk-Nya.
(2) Dimensi
yang memungkinkan dimensi – dimensi lainnya.
(3) Memberikan
arti dan kehidupan kepada setiap sesuatu.
(4) Tak
terhingga dan hanya Dia yang tak terhingga dalam kehidupan sebagai tanda bahwa
Dia sebagai Pencipta.
(5) Segala
sesuatu selain-Nya akan musnah.
Maka jika ada
manusia menganggap bahwa ada zat yang Maha Agung selain Allah Swt, terlebih
lagi kemudian tenggelam dalam perbuatan men-Tuhan-kannya maka manusia itu
menjadi musyrik.
1.2 Konsep Alam Semesta
Alam
adalah segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh pancaindera, perasaan dan
pikiran, kendatipun samar-samar:
mulai dari
partikel yakni bagian benda yang sangat kecil dan berdimensi sampai kepada
jasad yang besar.
dari yang
organik sampai yang in-organik.
dari yang
paling sederhana susunan tubuhnya sampai kepada yang sangat kompleks seperti
tubuh manusia.
Ruang dan
waktu.
Manusia
sendiri.
1.3 Penciptaan Alam Semesta
Alam Semesta
diciptakan sebelum manusia diciptakan dengan tatanan kerja yang teratur, rapi
dan serasi (sunnatullah).
Alam semesta
beserta segala sesuatu yang hendak diciptakan Allah Swt tercipta sekedar dengan
firman-Nya:
‘ Jadilah ‘.
Oleh karena
itu, Allah Swt adalah pemilik mutlak dari alam semesta dan penguasa alam
semesta yang tidak dapat disangkal, disamping pemeliharaannya yang Maha
Pengasih. 6
Karena
kekuasaan-Nya yang mutlak maka jika Allah Swt hendak menciptakan langit dan
bumi maka Dia berkata kepada keduanya :
“Jadilah
kalian, baik dengan suka maupun dengan terpaksa” (Surat Fushilat 41: 11).
Dulunya langit
dan bumi ini bersatupadu, kemudian dipisahkan Oleh-Nya. (Surat Al Anbiya 21:
30).
Oleh karena
itu, seluruh isi alam semesta ini mentaati Allah Swt ‘secara otomatis’. Alam
sedemikian terjalin erat dan bekerja dengan regularitas yang sedemikian rupa
sehingga merupakan keajaiban Allah Swt.
Proses
penciptaan alam semesta ini terjadi selama 6 hari/masa/fase, kemudian Allah Swt
menuju Arasy, dari sinilah Allah Swt mengatur alam semesta ini. Di mana
melalui perantaraan malaikat-malaikat-Nya di menurunkan perintah-perintah-Nya
(Surat Al Hadid: 4, Al Haj: 5 dan Al Qadr: 4).
Setiap sesuatu
di alam semesta mempunyai potensi-potensi tertentu tetapi betapapun banyaknya
potensi-potensi tersebut tidak dapat memuat yang terhingga melampaui
keterhinggaannya dan menjadi tak terhingga.
Sifat
sunnatullah itu menurut Abdulrahim (1996: 30) sebagai berikut:
Pasti (Al
Furqon, 25:2; At Thalaq, 65:3).
Tetap (Al An’am,
6:115; Al Isra’, 17:77).
Obyektif atau
universal (Al Anbiya’, 21:105).
1.4 Konsep Manusia
Manusia
diciptakan Allah Swt secara alamiah karena Allah Swt menciptakan Adam dari
tanah (turab) atau tanah liat (tin) atau tanah keras tanpa air (lazib),
(Lihat Surat Ali Imran 3: 59; Al Kahfi 18: 37; Al Hajj 22: 5; Al Rum 30: 20;
Fathir 35: 11 dan Al Mu’minun 40: 67), jika diorganisir ke dalam diri manusia
akan menghasilkan ekstrak sulalah (air mani). Apabila air mani ini masuk
dalam rahim maka akan mengalami sebuah proses kreatif. Dari air mani inilah
proses terbentuknya “manusia” selanjutnya menurut Ali Sariati bahwa
wanita dan pria sama berasal dari sulalah (Al Qiyamah, 37-39).
1.5 Proses Penciptaan Manusia
Tahapan
kejadian manusia (keturuan Adam):
(1) Tanah;
Air mani (At Thariq: 6-7).
(2) Nuthfah,
yaitu zigot sebagai hasil pembuahan.
(3) ‘Alaqah
(segumpal darah), yaitu yang melekat, artinya setelah zigot berumur
23 hari kemudian menempel pada dinding rahim.
(4) Mudghah,
yaitu embrio yang terbentuk setelah 6 minggu pembuahan.
(5) Fetus,
yaitu embrio yang telah menjadi tulang terbungkus dalam daging, ini setelah 3
bulan pembuahan (90 hari).
(6) Janin,
yang menjadi makhluk ‘manusia’ yang bernyawa karena telah ditiupkan roh, ini
setelah 4 bulan (120 hari) pembuahan. (Surat Al Mu’minun, 23:12-14; Al Hijr:
28-29; As Sajadah: 7-9).
7
1.6 Dua Aspek Pokok Proses Penciptaan Manusia Dalam Proses Alami
(1) Pertama,
Aspek Material atau Jasmaniah, yaitu jasad manusia, tubuh atau badan.
Menurut
Abu Ishak : jasad itu adalah sesuatu yang tidak
dapat berpikir dan tidak dapat dilepaskan dari pengertian bangkai.
Abu
Lais : makhluk yang berjasad itu makhluk yang
membutuhkan makan dan minum.
Imam
Ghazali : jasad itu terdiri dari unsur-unsur materi
yang pada suatu saat komposisinya dapat rusak sehingga tidak memiliki sifat
kekal dan tanpa daya tanpa adanya ruh.
(2) Aspek
Immaterial atau Rohaniah, yaitu aspek yang sifatnya abstrak dan tidak
dapat direalitaskan, yang hanya terlihat dari adanya aktivitas jasmaniah. Ia
akan memberikan nilai kepada jasmaniah dalam setiap aktivitasnya.
Imam
Ghazali membagi aspek ruhaniah ini menjadi 2
bentuk :
(1) Al –
Ruh, yaitu daya manusia untuk mengenal dirinya sendiri, mengenal Tuhannya
dan mencapi ilmu pengetahuan sehingga dapat menentukan manusia berkepribadian,
berakhlak mulia serta menjadi motivator sekaligus penggerak bagi manusia dalam
melaksanakan perintah Allah Swt.
(2) Al –
Nafs, yaitu nyawa yang membedakan manusia dengan benda mati, tetapi tidak
membedakannya dengan makhluk lainnya, seperti hewan dan tumbuhan, namun berbeda
pada pada tingkat esensial antara al-Nafs manusia sebagai makhluk mulia
dengan makhluk lainnya.
Al
– Nafs ini dibagi dua:
(1) Al-Nafs
al-Insaniyah atau al-Malakiyyah, yang mendorong manusia melakukan
perbuatan yang sesuai dengan perintah Allah Swt. (Al Insan, 76:1).
(2) Al-Nafs
al-Ahyawaniyyah, yang mendorong manusia melakukan perbuatan yang dilarang
Allah Swt. (Al A’raf, 7:179).
1.7 Manusia sebagai Khalifah Allah Swt
Dalam Al
Baqarah 2: 30, sebelum manusia diciptakan, Allah Swt telah mengemukakan rencana
penciptaan-Nya kepada malaikat, yang artinya :
“Dan
ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat bahwasanya Aku akan
menciptakan khalifah di bumi..“
Dengan ayat di
atas, Allah Swt secara terbuka telah menyatakan manusia sebagai khalifat,
dengan konsekuensinya adalah manusia memiliki tugas-tugas sebagai seorang
khalifah, yaitu diberikan tanggungjawab untuk mengatur dan memelihara alam
semesta, yang semuanya diserahkan manusia untuk dipergunakan seluasnya demi
kesejahteraan manusia dan memakmurkan-Nya.
Oleh karena
itulah, guna dapat melaksanakan amanat sebagai khalifah itu, manusia diberi
akal. Dengan akal, manusia mampu mengamati alam semesta, menghasilkan dan
mengembangkan ilmu yang benihnya telah disemaikan oleh Allah Swt ketika Allah
Swt menciptakan Adam sebagai manusia dengan mengajarkan nama-nama benda.
Artinya :
8
“ Dan Dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman : “Sebutkanlah kepada-Ku
nama benda-benda itu, jika kamu memang orang-orang yang benar “ (Al
Baqarah 2: 31).
Peran
yang dilakukan manusia sebagai khalifah Allah Swt terdiri dari 2 jalur:
(1) Jalur
Horizontal, mengacu pada bagaimana manusia dapat mengatur hubungan yang
baik dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Hubungan yang dibina adalah
hubungan sejajar dan sama antar sesama makhluk Allah Swt
(2) Jalur
Vertikal, mengacu pada bagaimana manusia memerankan diri sebagai mandataris
Allah Swt. Dalam peran ini manusia penting untuk menyadari bahwa kemampuan yang
dimilikinya untuk menguasai alam dan sesama manusia adalah karena penugasan
dari Sang Pencipta, sehingga dapat diharapkan manusia dapat menciptakan
kehidupan yang harmonis di muka bumi.
Sedangkan
kelemahan manusia itu melekat pada diri manusia itu sendiri, antara lain:
(1) Suka
melampaui batas (Yunus, 10:12).
(2) Dhalim dan
inkar ni’mat (Ibrahim, 14:34).
(3) Suka
tergesa-gesa (Al Isra’, 17:11).
(4) Suka
membantah (Al Kahfi, 18:54).
(5) Suka
berkeluh kesah dan kikir (Al Ma’arij, 70:19-21).
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad
Daud, Pendidikan Agama Islam, Cetakan Ke-4, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta:
2002.
Aminuddin
dkk., Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi Umum, Cetakan ke-1, Ghalia
Indonesia, Jakarta: 2002.
Krisnawati,
Lolita (Ed), Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum, Cetakan ke-1,
Ghalia Indonesia, Jakarta: 2002.
Rahmat, Haji
O. K., Hubungan Antara Manusia Dengan Manusia dan Alam Sekelilingnya, Cetakan
Ke-1, PT. Pustaka Nasional Pte Ltd, Singapura: 1991.
9
Komentar
Posting Komentar